Pesan Cinta Dibalik Saku Jaket

Aku menatapnya dan tersenyum dengan rasa penasarannya terhadap maksud kedatanganku menemuinya. Aku sengaja tak langsung menjawab pertanyaannya dan membiarkan dia terus dalam rasa itu.

"Kok diem, mas? Mau ngomong apa?"
"Aku punya sesuatu buat kamu."
"Apa mas?"
"Kamu tuh lucu ya kalau lagi penasaran gini, hehehe."
"Ihh.. Apa mas?"
"Aku mau minta maaf."
"Kenapa, mas?"
"Karena aku..."

Aku diam sambil memperhatikannya. Aku kembali tersenyum. Dia menatapku penuh penantian.

"Aku mau minta tolong, boleh? hehehe."
"Ihh.. kirain mau ngomong apa. Minta tolong apa?"
"Ambilkan jaket di dalam tas, di kamar. Dingin, nih..."
"Bentar ya, mas."

Lisya bergegas menuju kamar tempat aku beristirahat tadi. Sementara aku tetap menunggunya di ruang tamu.    Aku merasakan dingin yang menyengat seperti ketika aku pertama kali ke Banjarnegara. 

"Mas, yang warna pink ini?" tanya Lisya memastikan.
"Iya."
"Ini kan jaket cewek, mas?"
"Iya. Itu buat kamu. Coba di pake dulu."
"Oke, mas." jawabnya sambil membuka resleting jaket berwarna pink itu, kemudian dipakainya.
"Gimana, mas?" ucapnya meminta pendapat.
"Coba deh masukkan kedua tangan ke dalam saku, kemudian badannya agak serong."
"Loh, mas... ini..."
"Itu juga buat kamu."
"Yang bener, mas? Kejutan lagi? atau mas mau ikut-ikutan sinetron ya? Terus nanti judulnya jadi 'Pesan Cinta Dibalik Saku Jaket,' gitu kan? "
"Aku enggak bermaksud ikutan sinetron..., apa tadi judulnya? Pesan Cinta Dibalik Saku Jaket? Bukan gitu, Lis. Itu adalah bagian dari maksud kedatanganku kesini. Aku mencintaimu, Lis. Aku ingin kamu jadi orang yang paling berharga di hidupku. Bukan hanya sekedar teman atau pacar. Aku ingin kamu jadi pendamping hidupku, Lis. Apakah kamu bersedia?" tanyaku penuh harapan.
"Aku enggak bisa jawab sekarang mas. Aku harus membicarakannya dulu dengan bapak dan ibu."
"Hanya jawaban dari mu, Lis, yang kami tunggu."
"Kami?" tanya Lisya dengan wajah sedikit bingung.
"Iya. Tadi aku sudah membicarakannya dengan Bapak dan Ibu sebelum kamu datang membawakan minuman. Beliau menyerahkan semua keputusan kepadamu."
"Orang tua mas sudah tau juga?"
"Tentu saja, Lis. Aku serius mencintaimu."
"Kamu egois, mas. Kamu merencanakan semuannya sendirian seolah-olah aku ini pasti mau. Kita juga kan belum pernah pacaran, mas. Kenapa mas berani-beraninya seperti ini?"
"Lis, dengar dulu..."

Lisya meninggalkan ku begitu saja. Dia masuk kamar. Aku hanya bisa berdiri tanpa bisa mencegahnya. Aku kembali duduk dan terdiam. Aku takut dengan semua yang telah aku lakukan. Bukan takut dia tak mau menerimaku, tetapi aku takut menyakitinya. Jawaban apapun bukan masalah bagiku. Aku mencintainya tulus dari hati yang paling dalam. Keinginanku adalah kebahagiaannya, meski itu luka untukku.





Load disqus comments
Comments
0 Comments

0 comments